Tragedi Hong Kong, Potret Buram TKI Ilegal
Banyak laporan kasus pelanggaran izin tinggal (overstay) oleh WNI
(kabarsuramadu.com) - Tragedi pembunuhan terhadap dua wanita warga negara Indonesia (WNI) di Hong Kong, Sabtu 1 November lalu, jadi sorotan. Terutama merujuk pada banyaknya persoalan yang dihadapi buruh migran Indonesia (BMI).
Kedua wanita asal Indonesia itu dibunuh dengan sadis oleh seorang bankir asal Inggris, Rurik Jutting. Kedua perempuan bernama Sumarti Ningsih (25) dan Seneng Mujiasih (29) itu disebut berada di Hong Kong untuk bekerja sebagai disc jockey (DJ) di sebuah klub malam.
Namun, mereka dipastikan berada di Hong Kong menggunakan visa kunjungan atau turis. Sehingga diduga keduanya melanggar peraturan keimigrasian Hong Kong, yang tidak memungkinkan mereka bekerja dengan memanfaatkan visa kunjungan.
Persoalannya kemudian, penyalahgunaan visa kunjungan seperti yang dilakukan Ningsih dan Seneng itu cukup banyak terjadi. Bahkan, sumber dari kepolisian Hong Kong menyebut Ningsih pernah ditangkap karena tuduhan pelanggaran izin tinggal.
Juru bicara Kementerian
Luar Negeri (Kemlu) RI Michael Tene, Selasa 4 November 2014, mengakui
cukup banyak laporan terjadinya kasus pelanggaran izin tinggal (overstay) oleh WNI di beberapa negara.
Terutama
di negara-negara yang menjadi tujuan utama BMI seperti Malaysia, Arab
Saudi, dan negara-negara lainnya di Timur Tengah. Ada beberapa penyebab,
dari kenakalan agen tenaga kerja hingga kecurangan majikan atau pemberi
kerja.
Pemerintah
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayat pada VIVAnews,
Selasa sore, mengatakan pemerintah bertanggung jawab atas rendahnya
pengawasan terhadap pengiriman tenaga kerja ilegal. Dia menolak anggapan
adanya tenaga kerja yang sengaja menyalahgunakan visa turis.
Anis
menegaskan tidak ada pekerja yang ingin menjadi pekerja migran ilegal.
Sebagian besar kasus BMI ilegal adalah mereka yang tertipu oleh Penyalur
Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Banyaknya kasus BMI ilegal, sebenarnya
menegaskan tidak berjalannya fungsi pengawasan oleh pemerintah.
Pasalnya,
Indonesia telah melakukan moratorium pengiriman TKI ke negara-negara
Timur Tengah sejak Agustus 2011. Artinya tidak boleh ada pengiriman TKI
ke negara-negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak dan lainnya.
Sementara
yang terjadi adalah pemalsuan dokumen menggunakan visa kunjungan, yang
dilakukan oleh PJTKI. Bagaimana PJTKI bisa melakukannya, jelas sekali
lagi memperlihatkan rendahnya tanggungjawab pemerintah.
Duta Besar Indonesia untuk Irak Safzen Noerdin dalam wawancara dengan VIVAnews beberapa waktu lalu, mengatakan ada banyak agen tenaga kerja nakal dibalik banyaknya pekerja migran Indonesia di Timur Tengah.
Safzen
menyebut KBRI telah mendata sejumlah agen tenaga kerja itu dan
melaporkannya. Namun keberadaan mereka seolah tidak tersentuh hukum,
karena hingga saat ini mereka masih terus beroperasi.
PJTKI
PJTKI
menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas banyaknya WNI yang
menjadi pekerja migran ilegal di luar negeri, karena kemampuan agen-agen
tenaga kerja itu membuat jaringan dan memanfaatkan celah peraturan.
Sebagian
WNI yang menjadi pekerja migran ilegal adalah mereka yang tidak
memiliki cukup pengetahuan, sehingga mudah diiming-imingi penghasilan
besar oleh agen tenaga kerja. "Di desa sulit membedakan mana PJTKI yang
resmi dan tidak resmi," kata Anis.
Pada sisi lain, adalah adanya kebijakan dari negara tujuan yang membuka peluang terjadinya pelanggaran. Seperti Journey Perfomed (JP) Visa yang diberlakukan Malaysia, dan akhirnya dihentikan berdasarkan kesepakatan Malaysia dan Indonesia, September 2013.
Pemerintah
Indonesia telah memberlakukan moratorium pengiriman TKI ke Malaysia,
terkait dengan kasus-kasus kekerasan yang menimpa buruh migran Indonesia
(BMI) di negara itu. Tapi kemudian JP Visa dimanfaatkan sebagai celah.
JP
Visa sebenarnya merupakan visa kunjungan, namun memungkinkan
penggunanya bekerja apabila selama berkunjung ada warga negara Malaysia
yang mau menggunakannya sebagai pekerja. Hal itu menguntungkan Malaysia.
Negara
itu mengalami kekurangan tenaga kerja, terutama pekerja domestik,
setelah pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium pengiriman BMI ke
Malaysia. Namun penggunaan JP Visa membuat posisi BMI sangat lemah dan
tidak terlindungi hukum.
Terpaksa
Pelanggaran
yang kerap terjadi di kalangan pekerja migran Indonesia, sebut Anis,
juga disebabkan masalah dalam kontrak kerja. Diantaranya kasus di mana
majikan terus memperpanjang kontrak kerja, tapi tidak ada keinginan
untuk mengurus izinnya.
Tidak sedikit juga kasus tidak
dipenuhinya kontrak kerja, di mana BMI tidak memperoleh haknya dalam
mendapatkan penghasilan. Ditambah lagi dengan perlakuan buruk, termasuk
kekerasan, yang membuat pekerja lari dari majikannya.
Inspeksi mendadak yang
dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada 26 Juli lalu di
Bandara Soekarno-Hatta, menemukan keterlibatan pejabat pemerintah dalam
kasus pemerasan terhadap BMI.
Dua oknum polisi, seorang oknum
TNI, calo dan preman ditangkap dalam inspeksi itu. Oknum-oknum dari
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia juga
diyakini terlibat dalam jaringan besar.
Peristiwa itu menunjukkan bagaimana buruknya perlakuan yang diterima BMI. Sulitnya pengurusan administrasi serta berbagai kendala yang dihadapi BMI dalam berhubungan dengan PJTKI memaksa sebagian BMI mencari alternatif.
Seorang BMI asal
Indramayu yang kini bekerja di Malaysia, mengakui bahwa dia tidak lagi
bekerja melalui agen tenaga kerja. Dia tidak menjelaskan bagaimana
proses pengurusan izin bekerjanya saat ini. Namun dia mengatakan ada
beberapa rekannya yang kini bekerja tanpa melalui perantara PJTKI dengan
memanfaatkan visa kunjungan.
"Restauran banyak mencari pekerja
yang mau dibayar murah dan tidak perlu jadi pekerja tetap," kata dia.
Ada beberapa negara di Asia yang mudah dalam pengurusan visa kunjungan
serta tidak membutuhkan biaya.
Keberadaan pekerja migran ilegal
itu jelas menguntungkan bagi para pengusaha, karena membuat mereka bisa
memperoleh tenaga kerja dengan bayaran rendah. Para pengusaha itu juga
tidak perlu mengeluarkan biaya lain seperti asuransi kesehatan.
Imbauan
Jubir
Kemlu RI Michael Tene, mengatakan pemerintah Indonesia akan selalu
berusaha memfasilitasi dan memberi perlindungan pada WNI yang berada di
luar negeri. Dia mengakui adanya banyak kasus overstay.
"Itu (overstay)
memang salah satu tantangan yang kita hadapi dalam upaya kita
memberikan perlindungan bagi warga kita. Tentunya ini bagian dari
penanganan secara menyeluruh mengenai penempatan tenaga kerja Indonesia
di luar negeri," kata Tene.
Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa
WNI yang melanggar izin tinggal akan berhadapan dengan peraturan yang
berlaku di suatu negara. Peraturan itu disebutnya berbeda-beda antara
satu negara dan negara lainnya.
"Kami akan memberikan
perlindungan. Tapi tentunya kami mengimbau agar semua warga negara kita
yang di luar negeri apakah untuk kepentingan bekerja atau wisata, selalu
mematuhi aturan negara setempat," ucapnya.
Anis mengatakan bahwa
Presiden Joko Widodo memikul tugas besar untuk membenahi masalah
pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. "Tidak boleh tambal
sulam lagi, harus menyeluruh," ujarnya.
Lebih lanjut, dia meminta
agar pemerintah meningkatkan layanan pusat bantuan di luar negeri, yang
bisa dihubungi kapan pun oleh BMI. Saat ini memang hal itu sudah
dijalankan oleh pemerintah, namun masih ada beberapa kendala seperti
layanan yang tidak dapat dihubungi setiap saat.