Kisah Pelajar Indonesia Korban Bom Atom Hiroshima Nagasaki
Selasa, 2 September 2014 17:16:55 - oleh : aditya

Kisah Pelajar Indonesia Korban Bom Atom Hiroshima Nagasaki

Foto taman perdamaian yang jadi tempat mengenang dijatuhkannya bom atom di Hiroshima pada 1945 itu dipajang di rumah Syarif Adil Sagala di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan. Gambar itu adalah kenangan akan Sagala yang ketika serangan bom atom tengah belajar di Jepang.

Ada dua gelombang keberangkatan pelajar-pelajar Indonesia ke Negeri Matahari Terbit itu. Sebelum 1943, para mahasiswa itu memilih ke Jepang karena orangtua mereka tak sanggup membiayai pendidikan tinggi di Belanda.

Lalu pada 1943 pemerintah militer Jepang di Indonesia membuat program khusus mengirimkan pemuda Indonesia belajar di negaranya. Kisah para pelajar itu dan derita mereka saat bom atom dijatuhkan diceritakan kembali oleh para alumni dalam buku Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang Sekitar Perang Pasifik 1942-1945.

Berikut ini nukilannya:

Pria Jepang mabuk itu menyepak pemuda-pemuda di depannya yang tak berdiri tegak. Setiap hari makian dari mulut berbau minuman keras itu jadi santapan malam 23 pemuda yang diasramakan di Cikini, Jakarta.

Mereka adalah peserta program Nampo Tokubetsu Ryugakusei (Mahasiswa Luar Biasa dari Daerah Selatan). Program ini diberikan kepada pemuda negara di Asia Tenggara yang diduduki Jepang, termasuk juga dari Indonesia, Malaysia, dan Burma.

Program dari Kementerian Asia Timur Raya dan Kementerian Pendidikan Kekaisaran Jepang itu banyak peminatnya.

Ratusan pemuda mengikuti seleksinya di seantero Jawa sebelum akhirnya mengerucut jadi 75 orang yang ikut tes lanjutan di Jakarta. Ujian saringan itu diadakan di gedung yang sekarang menjadi markas polisi militer plus Rumah Tahanan Guntur tempat KPK menahan para tersangka korupsi di Pasar Rumput, Jakarta Selatan.

Sebenarnya cuma ada 20 orang yang akan berangkat ke Jepang tapi yang diloloskan 23 orang. “Ini jelas taktik untuk memaksakan kami terus bersaing selama latihan,” kata Sukristo Sastrowarsito yang lulus ujian.

Sukristo bercerita, setiap hari mereka bangun pukul enam pagi dan harus membersihkan asrama selama sejam. Setelahnya giliran pelatih tukang mabuk bernama Nakamura itu yang memandu senam pagi.

Setelah dua bulan di asrama, akhirnya rombongan pelajar itu berangkat. Termasuk di antara mereka yang berangkat pada Juni 1943 itu adalah Yoga Soegomo yang nantinya akan jadi Kepala BAKIN sekaligus orang kepercayaan Presiden Suharto.

Mereka bertolak dari Tanjung Priok ke Singapura tempat kapal Awa Maru yang akan membawa mereka ke Moji berada. Di sana mereka bertemu pemuda-pemuda asal Sumatera yang oleh militer Jepang dijadikan satu komando dengan basis mereka di Singapura.

Mereka yang akan digembleng jadi guru dikirim ke jurusan sastra dan sains yang ada di Tokyo dan Hiroshima. Sukristo dikirim ke Bunridai di Hiroshima.

Meski belakangan menyadari bahwa status mereka adalah pelajar dari tanah jajahan, Sukristo mengingat orang-orang di Hisroshima menyambut dengan hangat. “Mereka menyajikan makanan meskipun sangat sederhana dari jatah ransum mereka,” ujarnya.

Di kota pusat pendidikan, perhubungan, dan industri itu rumah-rumah hanya berisi perempuan dan anak-anak kecil. Para pria dewasa berangkat wajib militer, sedangkan para remajanya dipekerjakan di pabrik.

Pada April 1945, Tokyo mulai sering dibom pasukan Amerika Serikat. Maka mahasiswa kampus sastra dan sains pun dipindah ke Hiroshima. Termasuk dari mereka adalah Arifin Bey.

Arifin bercerita setiap pukul delapan pagi di Hiroshima selalu terdengar raungan sirene bahaya serangan udara. Awalnya semua orang selalu masuk bunker, tapi karena tak pernah terjadi apa-apa, lama-kelamaan sirene itu diacuhkan.

Mereka juga mengacuhkan juga sirene pada pagi 6 Agustus 1945. Hari itu setelah raungan sirene usai, profesor fisika memasuki ruang kuliah Arifin.

Ia baru saja akan menuju ke papan tulis ketika mendadak dari arah jendela cahaya menyilaukan seperti kilat menyeruak masuk ke ruang kuliah. Arifin tak mengingat ada suara apapun yang mengikuti sinar itu, tapi mendadak gedung kuliah berbahan kayu itu runtuh dan mendadak semua gelap.

“Saya tidak tahu berapa lama tidak sadar,” kata Arifin. “Ketika sadar lagi pagi telah berubah seakan-akan senja telah runtuh dari langit, di mana-mana ada kabut hitam tipis.”

Arifin terheran-heran. Apa iya ada ledakan serentak di seluruh kota? Ataukah gempa bumi mahadahsyat baru saja terjadi.

Setelah bom atom dijatuhkan oleh pasukan Amerika Serikat, yang terpikir oleh Arifin hanyalah teman-temannya sesama mahasiswa asal Asia Tenggara yang ada di asrama. Mereka tak kuliah karena hari itu libur.

Sepuluh menit berlari ke asrama Ushita itu terasa panjang karena harus menembus gedung-gedung yang rata dengan tanah. Orang berlarian tak tentu arah dengan baju compang-camping dan badan berlumuran darah.

Beberapa ia lihat seperti memakai sarung tangan karet milik dokter. Ketika dilihat dari dekat ternyata kulit tangan mereka sendiri yang terlepas. Cahaya apapun itu, kata Arifin, telah menguliti bagian tubuh yang tak tertutup baju.

Sepuluh menit dari kampus, mereka tiba di asrama dan berteriak-teriak memanggil kawan mereka. Hanya Sagala dari Medan yang menyahut. “Tolong, saya di sini! Saya terjepit!”

Asrama dua lantai di tepi sungai tempat Syarif Adil Sagala tinggal itu luluh lantak. Padahal tak lama sebelumnya dia masih melongok ke luar jendela melihat pesawat besar terbang rendah di langit Hiroshima.

Berkas asap putih memanjang yang ditinggalkan pesawat itu membuat penduduk kota terpesona. “Indahnya!” begitu kata sebagian yang melihatnya.

Tak dinyana pesawat itu menjatuhkan bom yang oleh Sagala hanya diingat sebagai cahaya terang. Sagala buru-buru menutup jendela. Ia mendengar gemuruh dan udara mendadak panas luar biasa. Setelahnya ia tak sadarkan diri.

Begitu terjaga, badannya terhimpit puing-puing bangunan asrama. Pengap dan sulit bernafas. “Oh begini rasanya kalau orang akan mati,” pikir Sagala. Tapi dia bertahan sekuat tenaga karena teringat ibunya di kampung halaman.

Sagala terbilang beruntung karena dia terjatuh ke kolong bangunan ketika asramanya roboh. Ia berteriak minta tolong, beruntung datang Arifin Bey dan Hasan Rahaya yang menariknya dari reruntuhan.

Setelah Sagala diselamatkan, mereka menolong semua orang sekenanya dengan membawa korban ke sungai di dekat asrama karena api mulai menjalar. Seingat Arifin, kobaran akibat bom itu terus menyala hingga lewat tengah malam. Mereka kehausan tapi orang-orang meneriakkan jangan minum air karena berbahaya.

Esoknya mereka semua berangkat ke Kyoto untuk diperiksa kesehatannya. Setibanya di sana, Sagala mendadak sakit. Dokter yang merawatnya mengatakan kecil kemungkinan dia akan bertahan hidup.

Mahasiswa asal Indonesia lainnya, Sam Suhaedi, mengatakan dua perempuan yang sempat ditolong Arifin dan Hassan awalnya sehat seperti Sagala tapi belakangan meninggal. “Mereka terkena radiasi bom atom,” kata Sam.

Menurut Sukristo, hanya dua mahasiswa Indonesia yang menunjukkan gejala terpapar radiasi bom atom: Sagala dan Arifin. Keduanya lolos dari maut dan pulang ke tanah air.  

Tapi Sagala dua kali lolos dari maut. Ia pulang ke tanah air dan terakhir menetap di Jakarta. Hidup untuk melihat anak-anaknya besar menjadi dokter dan insinyur.

Hasan Rahaya yang menolongnya juga selamat dan pulang ke Indonesia. Ia sempat jadi anggota MPR/DPR dan Dewan Pertimbangan Agung.

| More

Berita "Feature" Lainnya